Daftar Isi
- 1 Kekosongan Kekuasaan Ancam Pemerintahan Daerah Usai Putusan MK
- 1.1 Pemisahan Pemilu Tak Serta-Merta Perbaiki Demokrasi
- 1.2 Masalah Baru: Jabatan DPRD dan Kepala Daerah Berakhir di 2029
- 1.3 Opsi yang Tersedia: Perpanjangan atau Penunjukan Pejabat
- 1.4 Kekhawatiran Soal Demokrasi Representatif
- 1.5 Desakan untuk Revisi Regulasi dan Sinkronisasi UU
- 1.6 Momentum Perbaikan Pemilu
- 1.7 Kualitas Demokrasi Jadi Taruhan
Portal Pantura – Putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan pemilu nasional dan daerah menimbulkan kekhawatiran soal kekosongan jabatan DPRD dan kepala daerah pada 2029. Simak ulasannya.
Kekosongan Kekuasaan Ancam Pemerintahan Daerah Usai Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah menuai sorotan tajam. Keputusan ini memunculkan masalah baru: potensi kekosongan kekuasaan pada 2029 saat masa jabatan ribuan anggota DPRD serta kepala daerah berakhir.
Pemisahan Pemilu Tak Serta-Merta Perbaiki Demokrasi
MK memutuskan bahwa pemilu nasional – meliputi pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, dan DPD – akan dilaksanakan secara terpisah dari pemilu daerah. Pemilu daerah akan memilih gubernur, bupati, wali kota, serta anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Namun, keputusan ini dinilai tidak serta-merta menjamin perbaikan kualitas demokrasi. Masalah utama seperti politik uang, mobilisasi aparat negara, serta penyalahgunaan bansos untuk kepentingan politik dinilai tetap sulit diberantas, baik pemilu dilakukan serentak maupun terpisah.
Masalah Baru: Jabatan DPRD dan Kepala Daerah Berakhir di 2029
Dampak paling nyata dari pemisahan ini adalah masa jabatan DPRD dan kepala daerah yang berakhir pada 2029. Sementara itu, pemilu daerah menurut putusan MK baru boleh digelar paling cepat dua tahun setelah pemilu nasional, yakni pada 2031 atau 2032.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang akan mengisi kekosongan kekuasaan selama dua hingga dua setengah tahun itu?
Opsi yang Tersedia: Perpanjangan atau Penunjukan Pejabat
Ada dua skenario yang bisa diambil. Pertama, memperpanjang masa jabatan DPRD dan kepala daerah secara otomatis hingga pemilu berikutnya. Namun, ini menimbulkan persoalan legitimasi. DPRD dan kepala daerah dipilih untuk masa jabatan lima tahun, bukan lebih.
Kedua, pemerintah menunjuk pejabat sementara (Pj) untuk mengisi kekosongan. Tapi jumlahnya tidak sedikit. Ribuan jabatan di DPRD dan ratusan kepala daerah harus diisi, yang jelas akan menjadi tantangan logistik dan politik tersendiri.
Kekhawatiran Soal Demokrasi Representatif
Penunjukan pejabat dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi. Lembaga legislatif daerah adalah representasi rakyat yang harus diperoleh melalui pemilu langsung, bukan penunjukan. Kekosongan yang diisi oleh pejabat non-terpilih bisa mereduksi kualitas demokrasi lokal.
Desakan untuk Revisi Regulasi dan Sinkronisasi UU
Dengan keputusan MK yang bersifat final dan mengikat, kini bola panas ada di tangan DPR dan pemerintah. Keduanya harus segera melakukan sinkronisasi dan revisi terhadap berbagai regulasi pemilu, termasuk UU Pemilu, UU Pilkada, UU Pemerintahan Daerah, dan UU MD3.
Muncul usulan agar revisi dilakukan dalam format Omnibus Law untuk menghindari tumpang tindih aturan serta menyatukan arah regulasi. Tujuannya tidak lain agar pemilu – baik nasional maupun daerah – benar-benar membawa perbaikan demokrasi.
Momentum Perbaikan Pemilu
Putusan MK ini juga bisa menjadi momentum pembenahan pemilu. Praktik politik uang, mahar politik, serta intervensi bansos dan aparat negara harus dihapuskan. Edukasi politik kepada masyarakat penting agar pemilih tidak mudah tergoda oleh logistik, tetapi memilih berdasarkan kualitas calon.
Kualitas Demokrasi Jadi Taruhan
Dua tantangan besar kini ada di depan mata: kekosongan kekuasaan pada 2029 dan kualitas pemilu ke depan. Pemerintah dan DPR harus segera bertindak agar putusan MK ini tidak justru menurunkan kualitas demokrasi.
Perbaikan sistem pemilu tidak cukup hanya dengan mengubah waktu pelaksanaannya. Yang lebih penting adalah memastikan proses yang jujur, adil, dan bebas dari intervensi kepentingan sesaat. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sehat adalah hasil dari pemilu yang berkualitas.***







