tutup / scroll untuk melanjutkan
IndepthTekno

Dulu Aplikasi Ini Digandrungi, Kini Ditinggalkan

Avatar photo
×

Dulu Aplikasi Ini Digandrungi, Kini Ditinggalkan

Sebarkan artikel ini
Line Messengger. Foto: line.me.
Line Messengger. Foto: line.me.
iklan

Portal Pantura – Masih ingat aplikasi Line? Dulu, aplikasi chatting ini jadi andalan anak muda Indonesia. Tapi kini, Line seperti kehilangan pamornya. Penggunanya terus menurun, fiturnya satu per satu ditutup. Apa yang sebenarnya terjadi?

Pada awal Juli 2025, Line resmi menutup layanan Split Bill di Indonesia. Sebelumnya, layanan Line Today dan Line Foom juga sudah lebih dulu ditutup. Ini seperti tanda-tanda Line semakin kehilangan tempat di hati pengguna Tanah Air.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN
iklan iklan
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN

Padahal, awal kemunculan Line begitu heroik. Aplikasi ini lahir setelah gempa besar mengguncang Jepang pada 2011. Saat itu, komunikasi lumpuh. NHN Japan—anak perusahaan dari raksasa teknologi Korea Selatan, Naver—melihat celah. Mereka menciptakan Line sebagai solusi komunikasi berbasis internet. Hanya dalam waktu setahun, Line punya 50 juta pengguna di Jepang. Bandingkan dengan Facebook yang butuh tiga tahun untuk meraih angka serupa di negara itu.

Popularitas Line menyebar cepat ke Asia, termasuk Indonesia. Masuk pada 2012, Line langsung lokalisasi konten dan membangun tim lokal. Gaya komunikasi dan stikernya yang kocak dan khas Indonesia membuat aplikasi ini cepat akrab. Tahun 2013, Line masuk jajaran lima besar aplikasi dengan pengguna terbanyak di Indonesia.

Sumber pendapatan Line pun melimpah. Dari penjualan stiker, akun resmi merek, hingga item digital. Hanya dua tahun setelah rilis, Line berhasil meraup omzet lebih dari Rp5 triliun. Tapi, kejayaan itu tak bertahan lama.

Apa yang Salah?

Setidaknya ada enam alasan mengapa Line makin ditinggalkan pengguna:

  1. Tak Relevan Lagi Generasi awal pengguna Line kini sudah dewasa dan beralih ke WhatsApp. Lingkungan kerja dan kebutuhan profesional membuat mereka butuh aplikasi yang lebih umum digunakan. Branding Line yang terlalu menyasar anak muda justru jadi bumerang saat penggunanya tumbuh dewasa.
  2. Aplikasi Berat dan Lemot Line mencoba jadi super app dengan segudang fitur. Tapi justru ini jadi masalah. Aplikasi jadi lambat, boros memori, dan tak efisien. Padahal pengguna hanya butuh chatting, bukan ratusan fitur tambahan.
  3. Fitur Penting Dihapus Fitur seperti Line Today yang menyajikan berita malah dihapus. Sementara fitur remeh terus ditambahkan. Akibatnya, banyak pengguna merasa kehilangan manfaat utama aplikasi.
  4. Login Ribet Dahulu login bisa lewat Facebook, kini tidak lagi. Ganti ponsel pun jadi masalah besar karena proses verifikasi akun Line lama sangat menyulitkan. Banyak pengguna kehilangan data penting karena tak bisa login ulang.
  5. Susah Tukar Kontak Budaya tukar nomor di Indonesia tak cocok dengan sistem ID ala Jepang. Di WhatsApp, cukup tukar nomor, langsung terhubung. Di Line, harus ingat ID rumit. Ini jelas menyulitkan.
  6. Regulasi dan Kepemilikan yang Rumit Line bukan aplikasi Jepang meski populer di sana. Ini produk Korea Selatan. Ketegangan politik dan kepemilikan silang antara Jepang dan Korea Selatan membuat pengembangan Line tersendat. Di Indonesia, regulasi pun menghambat Line berkembang sebagai super app karena izin media sosial dan keuangan harus dipisah.

Kalah Jauh dari WhatsApp

Data tahun 2023 menunjukkan pengguna aktif Line hanya 196 juta. Sementara WhatsApp? Mencapai 2,4 miliar. Jauh sekali. Tak heran jika saham Line pun tak berkembang. Dalam lima tahun terakhir, nilainya stagnan di kisaran 500 yen. Sementara saham Meta (pemilik WhatsApp) melonjak hampir 200%.

Masih Ada Harapan?

Bisakah Line bangkit? Sulit. Mereka harus mengejar perubahan zaman yang sudah melesat. Jika tak mampu beradaptasi, Line bisa bernasib seperti BlackBerry Messenger—tinggal kenangan.***

Dilarang mengambil dan atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk tujuan komersil tanpa seizin redaksi.

Top